Minggu, 20 November 2011


MAKALAH HADITS AHKAM
BAB I
PENDAHULUAN


Ibadah puasa merupakan salah satu rukun dari rukun islam yang ke 3, dengan demikian puasa  merupakan salah satu tiang dari dari agama islam. Oleh karena urgennya ibadah puasa ini, Allah swt. Dengan sangat gamblang mewajibkan ibadah puasa ini terhadap seluruh orang yang beriman hal ini tertuang dalam Firman-Nya : 
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,  (QS. Al-baqarah 183)
Puasa dibebankan kepada orang-orang beriman agar mereka menjadi orang yang bertakwa didalam menjalani hidupnya agar tidak tergelincir kepada jalan-jalan keburukan dan terhindar dari siksa_Nya. Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada para hamba_Nya. Karena disamping mereka menjadi orang yang bertakwa, mereka juga akan mereguk nikmat dan indahnya hikmah dibalik ibadah ini yang begitu luas.
Dalam pada kesempatan ini, pada makalah ini akan sedikit dibahas tentang hadis Nabi yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan puasa. Dalam makalah ini akan sedikit dibahas tentang pejelasan-pejelasan yang rinci terhadap pelaksanaan puasa yakni kapan dan bagaimana seharusnya seorang islam memulai ritual ibadah puasa dan kapan pula berakhirnya. Sehingga akan tampak jelas aturan-aturan yang telah ditentukan dalam menentukan waktu-waktu memulai puasa Ramadhan, dan dari dalam makalah ini juga nanti akan diketahui penyebab dari perbedaan penggunaan metode dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 syawal.



BAB II
PEMBAHASAN


بَاب: قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: (إذَا رَأيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وإذَا رَأيْتُمُوهُ فَأفْطَرُوا).

Nabi SAW bersabda  ketika melihat hilal maka berpuasalah dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah
وَقَالَ صلَةُ، عَنْ عَمَّارْ: مَنْ صَامَ يَومَ الشَّكِ فَقَدْ عَصَى أبَا الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم.
Shilah berkata dari Ammar, barang siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka sesunggunya dia telah melanggar ajaran Abul Qasim(Nabi)

- حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِك، عَنْ نَافِع، عَنْ عَبْدِ الله بنِ عُمَر رضي الله عنهما:أنَّ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم ذَكَرَ رَمَضَانَ، فَقَالَ: (لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَال، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ).
Dari ‘Abullah bin Umar r.a, mengatakan bahwa Rasulullah pernah berbicara perihal bulan Ramadhan. Beliau bersabda: maka janganlah kamu berpuasa sehingga melihat bulan sabit (tanggal 1 Ramadhan), dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya (tanggal 1 syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, kira-kirakanlah bilangannya.

- حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بنُ مَسْلَمَةَ: حَدَّثَنَا مَالِك، عَنْ عَبْدِ الله بنِ دِينَاٍر، عَنْ عَبْدِ الله ابنِ عُمَرَ رضي الله عَنْهُمَا:
 أنَّ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: (الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً، فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوهُ، فَإنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ).
Dari ‘Abullah bin Umar r.a, berkata bahwasanya Nabi bersabda: sebulan itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah kamu berpuasa sehingga melihat bulan sabit ( tanggal 1 Ramadhan), dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya  (tanggal 1 syawal), jika bulan tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bulan sya’ban tiga puluh hari.

- حَدَّثَنَا أبُو الْوَلِيْدِ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ جَبْلَة بنِ سُحَيْم قَالَ: سَمِعْتُ ابنُ عُمَرَ رضي الله عَنْهُمَا يَقُولُ:
 قَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: (الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا). وَخَنسَ اْلإِبْهَامٌ فِي الثَّالثة.
Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda: sebulan itu seperti ini dan seperti ini. Dan beliau menggenggam ibu jarinya pada kali yang ketiga.

- حَدَّثَنَا آدم: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّد بْنُ زِيَاد قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضي الله عَنْهُ يَقُولُ:
 قَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، أَوْ قَالَ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم: (صُومُوا ِلرُؤيَتِهِ وَأفْطَرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمَلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ).
Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata, bahwasanya Nabi Muhammad saw. Bersabda: berpuasalah kamu bila melihatnya ( bulan sabit tanggal satu Ramadhan), dan berbukalah bila kamu melihatnya (bulan sabit tanggal satu syawal). Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga puluh hari.

- حَدَّثَنَا أبُو عَاصِم، عَنْ ابنِ جُرَيْج، عَنْ يَحْيىَ بنِ عَبْدِ الله بْنِ صَيفِيٌّ، عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَن، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عَنْهَا: أنَّ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم آلى مِنْ نِسَائِهِ شَهْرًا، فَلَمَّا مَضَى تِسْعَةُ وَعِشْرُونَ يَوْمًا غَدَا، أو راح، فَقِيلَ لَهُ: إنَّكَ حَلَفْتَ أنْ لَا تَدْخُلَ شَهْرًا؟. فَقَالَ: (إنَّ الشَّهْرَ يَكُونُ تِسْعَةً وَعِشْرِينَ يَوْمًا).
Dari Ummu Salamah r.a ia berkata, sesungguhnya mengila’ sebagian isteri beliau selama satu bulan. Ketika telah lewat duapuluh sembilan hari, beliau pergi kepada mereka pada waktu pagi dan sore. Maka dikatakan kepada beliau “(Wahai Nabiyullah), sesungguhnya engkau bersumpah tidak akan memasuki (mereka) selama satuu bulan?”. Beliau bersabda: sesungguhnya satu bulan itu 29 hari.”
- حدثنا عبد العزيز بن عبد الله: حدثنا سليمان بن بلال، عن حميد، عن أنس رضي الله عنه قال: آلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من نسائه، وكانت انفكت رجله، فأقام في مشربة تسعا وعشرين ليلة، ثم نزل، فقالوا: يا رسول الله، آليت شهرا؟. فقال: (إن الشهر يكون تسعا وعشرين)
Rasul saw pernah bersumpah untuk tidak mendatang para isteri beliau dan kaki beliau telah mengalami keletihan maka beliau tinggal ditempat yang tinggi selama 29 hari lalau turun. Orang-orang berkata:Wahai rasulullah anda telah bersumpah selama satu bulan. Maka beliau saw. Bersabda: satu bulan itu bisa berjumlah 29 hari

Penjelasan:
Hadis-hadis diatas menjelaskan kepada kita tentang bagaimana dan kapan kita harus memulai dan dan mengakhiri bulan Ramadhan. Dalam mengawali bulan Ramadhan, maka pertama sekali, kita diperintahkan untuk melihat keadaan bulan secara langsung (apakah telah membentuk bulan baru atau belum). Begitu juga dalam menentukan akhir bulan Ramadhan dan atau 1 syawal, dengan cara melihat bulan pula hal ini mengacu pada hadis yang berbunyi: صُومُوا ِلرُؤيَتِهِ وَأفْطَرُوا لِرُؤْيَتِهِ  . dan metode ini dikenal dengan nama metode rukyatul hilal.[1] Cara ini disebut imkanurrukyah.
Pemerintah Republik Indonesia selama ini cendrung menganut kriteria awal bulan Imkan Rukyah MABIMS. Dimana keesokan harinya akan masuk bulan baru jika kondisi bulan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         Ketinggian hilal tidak kurang dari 2 derajat di atas ufuq ketika matahari terbenam.
·         Sudut elongasi matahari-bulan tidak kurang dari 3 derajat
·         Umur bulan ketika terbenam matahari tidak kurang 8 jam, dihitung mulai dari terjadinya ijtimak (konjungsi).
Kriteria MABIMS di atas merupakan patokan minimal dalam sidang istbat dalam menentukan apakah pengakuan kenampakan hilal dapat diterima atau tidak. Jika adanya pengakuan kenampakan hilal padahal kondisi hilal menurut hisab belum memenuhi kriteria di atas, maka pengakuan tersebut akan di tolak oleh sidang Istbat. Untuk awal Syawal 1432 H (kemungkinan besar Idul Fitri 1432 H), maka kondisi hilal untuk seluruh wilayah Indonesia pada hari rukyah belum memenuhi kriteria MABIMS di atas.
Adapun cara yang kedua, yakni apabila keadaan bulan tidak tampak oleh karena tertutup awan atau hal lain yang menghalangi pengelhatan kita terhadap bulan, sehingga bulan tidak bisa dilihat secara nyata, maka kita oleh nabi diperintahkan untuk menghitungnya (menghisabnya) secara  matematis [2]. Yaituperhitungan untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Cara ini disebut dengan wujudul hilal.

 Sesugguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan pelaksanaan shaum (Ramadhan) berdasarkan ru`yatul hilal, dan melaksanakan ‘Idul Fithri juga berdasarkan ru`yatul hilal, dalam sabda beliau :
 صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Berpuasalah kalian berdasarkan ru`yatul hilal dan ber’Idul Fithrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilal. (HR. Muslim 1080 dan An-Nasa`i 2124)
Beliau juga membatasi perkara tersebut (Ramadhan dan ‘Idul Fithri) hanya berdasarkan ru`yatul hilal dalam sabdanya :
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه
Janganlah kalian melaksanakan shaum (Ramadhan) sampai kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian melaksanakan ‘Idul Fithri sampai kalian berhasil melihatnya. (HR. Al-Bukhari 1773 dan Muslim 1795)
Beliau memerintahkan kaum muslimin jika terdapat penghalang (sehingga hilaltidak berhasil dilihat/diru`yah) pada malam ke 30, agar menyempurnakan bilangan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30, dan beliau tidak memerintahkan untuk merujuk kepada para ahli hisab. Kalau seandainya perkataan mereka (ahli hisab) itu merupakan satu-satunya landasan (hukum untuk penentuan Ramadhan – ‘Idul Fithri) atau landasan (hukum) lain (alternatif) di samping ru’yah dalam menetapkan bulan tertentu, maka beliau pasti akan menjelaskannya. Maka tatkala tidak ternukil dari Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam hal yang demikian itu, bahkan telah ternukil dari beliau kebalikannya, maka ini menunjukkan bahwasanya tidaklah teranggap secara syar’i segala sesuatu selain ru’yah atau ikmal (penyempurnaan 30 hari) dalam menentukan bulan (qamariyyah). Ini adalah syari’at yang senantiasa terus berlaku sampai hari kiamat. Allah ta’ala berfirman
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan tidaklah Rabbmu lupa”. (Maryam: 64)
Anggapan yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ru’yah dalam hadits tersebut adalah ru`yah dengan ilmu atau perkiraan kuat akan wujudul hilal atau imkanur ru`yah dan bukan bermakna ibadah dengan pelaksanaanru`yah itu sendiri, maka anggapan ini adalah anggapan yang tertolak. Karena kata “ru’yah” dalam hadits tersebut hanya mengenai satu obyek saja, sehingga yang dimaksud dengannya tidak lain adalah ru’yah bashariyah(ru`yah dengan indera penglihatan/mata), bukan ru’yah ilmiyah(ru`yah dengan ilmu hisab). Juga karena para shahabat Nabi memahami bahwasanya kata “ru`yah” dalam hadits tersebut bermakna ru`yah dengan mata kepala, sementara mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang Bahasa ‘Arab dan paling mengerti tentang maksud syari’ah ini daripada orang-orang generasi setelahnya.
Demikianlah pula, berlangsungnya praktek amalan tersebut (ru`yatul hilal) pada zaman Nabi dan zaman shahabat. Mereka sama sekali tidak menyerahkan permasalahan penetapan waktu tersebut kepada para ahli hisab.
Tidak benar pula sebuah pendapat yang mengatakan bahwasanya ketika Nabi  Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda
فإن غم عليكم فاقدروا له
Jika terhalangi oleh kalian awan, maka tentukanlah untuknya. (HR. Al-Bukhari 1767 dan Muslim 1799)
 فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ 
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Tidaklah beliau berkata : ‘Bertanyalah kalian kepada para pakar ilmu hisab’. Hikmah di balik perintah ini adalah samanya perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin) dalam penentuan bilangan hari di saat langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu adalah kelompok Syi’ah Rafidhah, dan dinukilkan adanya persetujuan sebagian kecil ahli fiqh terhadap mereka. Al-Imam Al-Baji berkata : ‘Ijma (Konsesus bersama) generasi as-salafush shalih merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imam Ibnu Bazizah berkata : ‘ini adalah keyakinan yang batil, karena syari’at (Islam) telah melarang untuk mendalami ilmu nujum, karena ilmu tersebut hanya sebatas prasangka yang tidak ada kepastian padanya.
a. Beliau memaksudkan dengannya adalah perintah kepada kita agar memperkirakan posisi-posisi Bulan, supaya kita dapat mengetahui berdasarkan Hisab kapan awal masuk dan berakhirnya bulan (qamariyah).
(Pendapat tersebut tidak benar) karena kalimat riwayat tersebut telah ditafsirkan oleh riwayat :
فاقدروا له ثلاثين
Tentukanlah menjadi 30 hari . (HR. Muslim 1796)
dan yang semakna dengannya.
Anehnya, bersamaan dengan itu, orang-orang yang menyerukan kepada penyatuan awal masuknya bulan, mereka bersandar kepada Hisab posisi-posisi Bulan baik dalam cuaca cerah maupun mendung, padahal dalam hadits itu sendiri hanya membatasi “penentuan”, yaitu ketika langit dalam keadaan mendung. 
b.Sesungguhnya sandaran penetapan bulan qamariyah dengan cara ru`yatul hilal adalah telah sesuai dengan maksud dan tujuan dari Syari’at Islamiyyah yang mudah. Karena ru’yatul hilal (melihat hilal) merupakan suatu perkara umum yang memudahkan kebanyakan manusia, baik dari kalangan orang-orang yang awam maupun orang-orang yang khusus, baik mereka yang hidup di pedalaman padang pasir maupun di daerah perkotaan. Berbeda halnya kalau seandainya syari’at menyandarkan hukum penetapan waktu tersebut dengan Hisab. Maka hal tersebut hanya akan menimbulkan kesulitan dan tidak sesuai (bertentangan) dengan maksud dan tujuan Syari’at Islamiyyah. Karena mayoritas umat ini, mereka tidak mengerti tentang ilmu Hisab.
Klaim yang menyatakan bahwa sifat ummi (tidak mengerti) Hisab Astronomis telah sirna dari umat ini, merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Kalaupun seandainya klaim tersebut bisa diterima, maka tetaplah yang demikian itu tidak bisa mengubah hukum Allah. Karena penetapan syari’at ini bersifat umum untuk umat (yang berlaku) di segenap masa/zaman.
c.    Bahwasanya para ‘ulama umat ini pada masa awal-awal Islam dahulu, mereka semua telah sepakat tentang penggunaan cara ru’yah ini untuk penetapan bulan-bulan qamariyah, tidak dengan menggunakan Hisab (perhitungan). Tidak pernah diketahui ada salah seorang dari mereka (para ‘ulama pada awal Islam) menggunakan sistem Hisab dalam penetapan bulan-bulan qamariyah, baik ketika langit terlihat mendung dan yang semacamnya, terlebih lagi kalau langit cerah, mereka (para ulama tersebut) sama sekali tidak memakai cara Hisab.
d.   Penentuan jeda waktu (antara tenggelamnya Matahari dan Bulan di ufuk barat) sehingga dengannya memungkinkan terlihatnya hilal setelah terbenamnya Matahari, jika tidak ada suatu penghalang, merupakan bagian dari perkara-perkara yang bersifat ijtihadiyah (tidak pasti) yang para tokoh ahli hisab sendiri telah bersilang pendapat dalam menentukannya. Demikian pula dalam menentukan faktor penghalang (terlihatnya hilal). Maka bersandar pada Hisab Falaki pun dalam penentuan waktu-waktu ibadah tidak bisa merealisasikan persatuan yang mereka dengung-dengungkan. Oleh karena itu datanglah syari’at ini yang memberikan ketetapan dengan cara ru’yatul hilal saja tidak dengan cara Hisab, sebagai rahmat bagi umat dan menutup segala perselisihan, serta untuk mengembalikan umat ini kepada perkara yang bisa diketahui oleh semua lapisan di manapun mereka berada.
Dan hendaklah menjadi perhatian, bahwasanya perbedaan mathla’ termasuk dari perkara-perkara yang terdapat padanya perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama. Hai’ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Tinggi ‘Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia) telah mempelajari hal ini di dalam salah satu Daurah (pertemuan rutin) yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu, dan mereka telah mengambil sebuah keputusan yang telah disepakati oleh mayoritas, yaitu :
Sungguhnya pendapat yang paling kuat dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan bahwasanya di setiap negeri dapat melakukan ru’yatul hilal sendiri, serta wajib atas mereka untuk mengembalikan permasalahan tersebut kepada para ‘ulama. Ini sebagai bentuk pengamalan hadits Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam shahihnya dari Kuraib dari shahabat Ibnu Abbas.
عن كريب أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية في الشام . قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها، واستهل علي رمضان وأنا بالشام ، فرأيت الهلال ليلة الجمعة ، ثم قدمت المدينة آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال فقال : متى رأيتم الهلال ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة. فقال: أنت رأيته. فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية ، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل الثلاثين أو نراه . فقلت: أولا تكتفي برؤية معاوية ؟ فقال: لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Dari Kuraib bahwasanya Ummul Fadhl bintu Al-Harits telah mengutusnya untuk menghadap Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata : Sampailah aku di negeri Syam, dan aku selesaikan keperluan-keperluannya. Hingga terlihatlah hilal Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan. Maka bertanyalah ‘Abdullah bin ‘Abbas kepadaku, hingga kemudian dia menyebutkan tentang hilal. Ibnu ‘Abbas bertanya : “Kapan kalian melihat hilal?” Aku (Kuraib) menjawab : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.” Kemudian dia (Ibnu Abbas) bertanya lagi : “engkau sendiri melihatnya?” Aku katakan: “Ya, dan penduduk Syam juga melihatnya. Maka merekapun melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut), demikian juga Mu’awiyah juga melaksanakan shaum (berdasarkan ru`yah tersebut). Ibnu ‘Abbas kemudian berkata : “Namun kami di sini melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus bershaum hingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal sebelumnya.” Aku (Kuraib) katakan : “Apakah engkau tidak mencukupkan (untuk mengikuti hasil) ru’yah yang dilakukan Mu’awiyah?” Maka Ibnu Abbas berkata : “Tidak, demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada kita.” (HR. Muslim 1087)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal yang teranggap (bisa dijadikan patokan) adalah ru`yatul hilal negeri Makkah saja, maka pernyataan seperti ini adalah tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak memiliki dalil atasnya. Pernyataan tersebut memberikan suatu konsekuensi bahwasanya tidak wajib berpuasa jika di daerah Makkah belum terlihat hilal walaupun di tempat lain telah terlihat hilal.
Sebagai penutup aku meminta kepada Allah untuk melimpahkan nikmat-Nya kepada kaum muslimin berupa pemahaman terhadap agamanya dan beramal dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan sunnah (hadits-hadits dan bimbingan) Nabi-Nya, dan semoga Allah melindungi mereka dari bahaya fitnah-fitnah. Semoga Allah mengangkat penguasa bagi mereka (kaum muslimin) dari kalangan orang-orang pilihan yang baik. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين .
 Allah Ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian yang telah menyaksikan/melihatnya (hilal Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” Al-Baqarah : 185
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal itu. Katakanlah bahwa hilal-hilal itu untuk menentukan waktu-waktu bagi manusia dan juga menentukan waktu haji”. Al-Baqarah : 189
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
“Jika kalian telah berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka laksanakanlah shaum Ramadhan, dan jika telah berhasil melihat hilal (Syawwal) maka ber’Idul Fithrilah. Jika kalian terhalangi melihatnya maka sempurnakanlah bilangan bulannya menjadi 30 hari”.
Maka beliau ‘alaihish shalatu was salam mensyariatkan dalam memulai waktu puasa berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Ramadhan, dan ber’Idul FIthri berdasarkan kepastian ru`yatul hilal Syawwal. Beliau tidak mengaitkan penentuan hal tersebut dengan Hisab Astronomi dan peredaran bintang-bintang.
ari penjelasan yang telah lalu, kita mengetahui adanya tiga cara dalam menentukan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, yaitu :
1. Ru’yatul Hilal (melihat hilal),
2. Menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari,
3. Asy-Syahadah (persaksian) orang yang telah berhasil melihat al-hilal atau pemberitaan/pengumuman bahwa al- hilal telah berhasil dilihat.
Sedangkan ilmu hisab falaki tidak boleh dan tidak bisa dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan masuk atau keluarnya bulan Ramadhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Tidak diragukan lagi berdasarkan As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada hisab perbintangan, sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) beliau berkata :
‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Sementara orang yang menyandarkan diri kepada ilmu hisab dalam menentukan Al-Hilal, maka sesungguh dia bagaikan orang yang sesat dalam syari’at ini dan seorang mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini. Dia pun salah dalam tinjauan akal dan ilmu hisab (perbintangan) itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal fungsi ilmu hisab yang mereka lakukan di saat mereka hendak mengetahui berapa derajat antara hilal (bulan) dan matahari saat terbenam. Sementara ru’yah tidak dapat ditentukan secara pasti dengan derajat tertentu, karena ru’yah tersebut berbeda sesuai dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat bergantung pada tingkat tinggi rendanya tempat yang dilakukan ru’yah terhadap hilal darinya. Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya cuaca.
Bisa saja Al-Hilal terlihat oleh sebagian orang pada tingkat 80 (delapan derajat), sementara yang lainnya tidak mampu melihatnya walaupun pada tingkat 120 (dua belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak menentu, dan para tokoh mereka -semacam Bathlemous (بطليموس)- sama sekali tidak berbicara tentang pengaruh perbedaan derajat, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab. Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para tokoh mereka yang datang belakangan -seperti Kusyiar Ad-Dealmi (كوشيار الديلمي ) dan yang semisalnya- ketika mereka mendapati Asy-Syari’ah (Islam) menggantungkan hukum-hukum kepada (Ru’yah) Al-Hilal, maka mereka (pakar ilmu hisab) memandang ilmu hisab sebagai cara yang ru’yatul hilal dipastikan padanya. Padahal cara tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang sesuai, bahkan tingkat kesalahannya banyak, dan itu telah terbukti, para pakar di bidang tersebut pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu- terlihat ataukah tidak?
Sebabnya : karena mereka memastikan sesuatu berdasarkan ilmu hisab sementara sesuatu tersebut tidak dapat diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang dari jalan yang benar.
Aku telah memaparkan permasalahan tersebut secara panjang lebar dalam pembahasan selain di tempat ini. dan aku jelaskan bahwasanya apa yang telah ditentukan oleh syari’at yang benar ini itulah yang sesuai dengan ketentuan akal yang jelas, sebagaimana pula aku telah menjelaskan tentang batasan hari bahwasanya hal itu tidak dapat dipastikan berdasarkan ilmu hisab.
Seluruh anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama` (Majelis Tinggi ‘Ulama) di Arab Saudi telah bersepakat tentang tidak bolehnya bersandar kepada ilmu hisab falaki dalam menentukan awal bulan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam ketetapan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` nomor 2, yang ditetapkan secara ijma’ (konsesus bersama), berikut isi ketetapan tersebut secara ringkas :
Sementara permasalahan yang terkait dengan hukum penetapan hilal pada setiap bulan berdasarkan ilmu hisab maka para (’ulama) anggota Majelis Hai`ah bersepakat tentang tidak bolehnya.[3]
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan pernyataan yang senada dengan fatwa di atas, beliau berkata :
“Ash-Shaum tidak menjadi wajib hukumnya dengan berdasarkan ketentuan hisab (falaki) walaupun para pakar ilmu hisab telah menetapkan bahwa malam ini merupakan bagian dari Ramadhan padahal kaum muslimin tidak berhasil melihat Al-Hilal, maka tidak boleh bershaum. Karena syari’at (Islam) mengaitkan hukum Shiyam berdasarkan sesuatu yang bisa dicapai oleh indera manusia, yaitu berdasarkan ru’yatul hilal.” [4]
Maka orang yang bersandar kepada hisab falaki adalah orang yang telah menyelisihi Al Haq dan Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah. Hal ini dilihat dari beberapa segi :
1. Firman Allah subhanahu wata’ala dalam Al-Qur`an :
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ .البقرة: ١٨٥
Artinya :
Karena itu barang siapa yang menyaksikan Asy-Syahr (hilal) Ramadhan maka bershaum lah.” [Al-Baqarah : 185].
Dalam ayat ini Allah mengaitkan hukum Ash-Shiyam berdasarkan ru’yah Asy-Syahr (Al-Hilal)
2. Hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang kewajiban bershaum berdasarkan ru’yatul hilal, seperi hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ البخاري
Artinya :
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarlan ru’yatul hilal. Jika (hilal) terhalangi(oleh mendung atau semisalnya) maka genapkanlah bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” [H.R. Al-Bukhari][5]
Demikian juga hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma :
Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berbicara tentang Ramadhan, kemudian beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian berhasil melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (ber’Idul Fitri) hingga kalian berhasil melihat hilal.”[Muttafaqun ‘alaihi] [6]
Kemudian jika kesulitan dalam melakukan ru’yah, karena terhalang oleh awan atau yang semisalnya, maka dengan cara menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, tanpa harus menyelisihi Nabi r dengan menggunakan hisab falaki.
3. Ijma’ para Shahabat, Tabi’in dan para imam Ahlus Sunnah setelah mereka.
4. Pernyataan para ahli ilmu perbintangan sendiri, bahwa ru’yah tidak bisa ditetapkan dengan hisab falaki karena adanya perbedaan ketinggian tempat perhitungan dan berbagai perbedaan lainnya.
5. Kenyataan terjadinya perbedaan di kalangan ahli hisab dalam menentukan hilal dan posisi ketinggian derajatnya untuk dapat dilihat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan dalam Fathul Bari sebuah perkataan yang bermanfaat ketika beliau mensyarh (menjelaskan) hadits no. 1913, yaitu hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar c dengan lafazh :
‏(( ‏إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ‏ )‏‏)
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, kami tidak dapat menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah kalian berdasarkan ru’yah (Al-Hilal), dan berbukalah (memasukui ‘Idul Fithri) berdasarkan ru’yah (Al-Hilal).”
Beliau berkata :
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya, mereka (para shahabat) dahulu tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Sehingga atas dasar itu hukum kewajiban bershaum dan yang lainnya dikaitkan kepada ru’yah (al-hilal) dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka dalam penggunaan ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam ketentuan ash-shaum walaupun setelah mereka telah muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum Ramadhan) berdasarkan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas :
Itulah beberapa keterangan dan fatwa beberapa ‘ulama ahlus sunnah dalam menyikapi ilmu hisab dalam keterkaitannya dengan penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Semoga bisa dijadikan sebagai landasan berpijak dalam permasalahan ini.

Hal ini sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, diantaranya :
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha :
كَانَ رَسُولُ اللهِ r يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ صَامَ. (رواه أبو داوود وصححه الألباني في صحيح سنن أبي داود)
Artinya :
“Bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh menghitung bulan Sya’ban dalam rangka persiapan Shaum Ramadhan[7] melebihi kesungguhannya dari selain Sya’ban. Kemudian beliau shaum setelah melihat hilal Ramadhan. Jika hilal Ramadhan terhalangi oleh mendung maka beliau menyempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari kemudiaan shaum.” [8]
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam :
أَحْصُوا هِلاَلَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ (رواه الترمذي، و الحاكم)
Artinya :
“Hitunglah hilal (bulan) Sya’ban untuk (mempersiapkan) bulan Ramadhan.” [HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim] [9]
Wajib atas kaum muslimin untuk melaksanakan shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilal. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. hadits riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (وَعَقَدَ اْلإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ)، وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَ هَكَذَا وَ هَكَذَا (يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ ) – [متفق عليه]
Artinya :
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiy, tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung[10]. Ketahuilah bahwa jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian (sambil berisyarat dengan sepuluh jarinya – pen), sekian, dan sekian (dengan menekuk ibu jari tangannya pada kali yang ketiga) Dan jumlah hari dalam satu bulan adalah sekian, sekian, dan sekian (yakni genap 30 hari).” [Muttafaq ‘alaih].[11]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ummatnya untuk memulai shaum Ramadhan dengan berdasarkan ru’yatul hilal. Bila terhalangi oleh mendung atau yang semisalnya, maka dengan melengkapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ [متفق عليه]
Artinya :
“Bershaumlah berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah bilangannya menjadi 30 hari.” [HR.Bukhari][12]
Adapun sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dari riwayat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ [متفق عليه]
Artinya :
“Janganlah kalian bershaum kecuali setelah melihat hilal (Ramadhan) dan jangan pula berhari raya kecuali setelah melihat hilal (Syawwal). Jika terhalangi, ‘perkirakanlah’ “ [Muttafaq ‘alaihi][13]
Maka lafadh ( فَاقْدِرُوا لَهُ ) yang secara lughowy artinya ‘perkirakanlah’, telah ditafsirkan oleh riwayat sebelumnya dengan lafadh (فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن) atau (فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ ) yang artinya: “Maka lengkapilah bilangannya menjadi 30 hari”[14] atau “lengkapi bilangan Sya’ban menjadi 30 hari”. [15]
Bukanlah makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah (ضَيِّقُوا ), “persingkat (bulan Sya’ban menjadi 29 hari saja)” atau penafsiran lainnya. Sebab sebaik-baik tafsir terhadap suatu hadits adalah hadits yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar :
أَوْلَى مَا فُسِّرَ الْحَدِيْثُ بالْحَدِيْثِ
Artinya :
“sebaik-baik penafsiran hadits adalah dengan hadits yang lain.[16]
Dan demikianlah pendapat jumhur ‘ulama. Sebagaimana dikatakan oleh Al Maaziri :
“Jumhur ulama mengartikan makna (فَاقْدِرُوا لَه) adalah dengan melengkapi hitungan menjadi 30 hari berdasarkan hadits yang lainnya. Mereka menyatakan : ‘Dan tidak diartikan dengan perhitungan ahli hisab (astronomi) karena jika manusia dibebani untuk itu justru mempersulit mereka disebabkan ilmu tersebut tidak diketahui kecuali oleh orang-orang tertentu. Sedangkan syari’at mengajarkan kepada manusia sesuai dengan yang dipahami oleh kebanyakan mereka.”[17]

Penentuan awal bulan kamariyah (kalender hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal dari suatu tempat di muka bumi, baik itu dilakukan dengan mata telanjang (bil ‘ain al-bashariyah) maupun dengan alat pembesar dan pendekat, semisal teropong atau teleskop. Dengan perkataan lain, penentuan awal bulan kamariyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki).
Mengapa berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena sebab syar’i (as-sabab asy-syar’i) untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata), sesuai hadits-hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda :
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda :
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له
“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah.” (HR Bukhari no 1767; Muslim no 1799; An-Nasa`i no 2094; Ahmad no 7526).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas (sharihah ad-dalalah), bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal.
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (mazhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslimin di negeri-negeri lain di seluruh dunia. (mazhab jumhur, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali)
Dalam masalah ini bisa kita tegaskan :
وخطاب الشارع في هذه الأحاديث موجه إلى جميع المسلمين لا فرق بين شامي وحجازي ولا بين إندونيسي وعراقي، فألفاظ الأحاديث جاءت عامّة، لأن ضمير الجماعة في: (صوموا… وأفطروا) يدلّ على عموم المسلمين، وكذلك لفظ: (رؤيته) فهو اسم جنس مضاف إلى ضمير، يدلّ على رؤية الهلال من أي إنسان…
“Seruan Pembuat Hukum dalam hadits-hadits ini [seperti dua hadits di atas] diarahkan kepada seluruh kaum muslimin, tidak ada bedanya antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak. Sebab lafaz-lafazh hadits tersebut datang dalam bentuk umum, karena kata ganti untuk orang banyak (dhamir jama’, yakni wawu) pada hadits “shuumuu… wa afthiruu” menunjukkan umumnya kaum muslimin. Demikian pula lafazh “ru`yatihi” adalah isim jenis yang diidhafatkan kepada dhamir (kata ganti), menunjukkan rukyatul hilal dari manusia siapa pun juga dia…”
Pandangan ini sejalan dengan pentarjihan Imam Syaukani dalam persoalanikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata :
والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.
“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslimin. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslimin telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslimin apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.”
Setelah mengutip tarjih Imam Syaukani di atas, Wahbah Az-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut :
وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.
“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslimin, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada jaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.”
Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M juga telah mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
لا عبرة باختلاف المطالع ولو تباعدت الأقاليم بشرط أن تكون مشتركة في ليلة واحدة، وهذا ينطبق على البلاد العربية كلها
“Pandangan yang menyatakan tentang adanya perbedaan mathla’ itu tidak bisa digunakan, sekalipun wilayahnya berjauhan, dengan syarat wilayah-wilayah tersebut malamnya sama. Dan, ini berlaku untuk seluruh negeri Arab.”
Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut.
Dengan demikian, tidak dapat menerima rukyat lokal (mazhab Syafii) yang berpegang pada mathla’, yaitu daerah geografis keberlakuan rukyat. Menurut mazhab Syafii, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut.
Pendapat mazhab Syafii tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut:
أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia berkata,’Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.” (HR Jamaah, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Menurut mazhab Syafii, Ibnu Abbas RA yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita” menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
Kita tidak bisa sependapat dengan pandangan tersebut. Sebab perkataan Ibnu Abbas tersebut (‘Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita”), bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi SAW), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan ijtihad sahabat Nabi bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yangmu’tabar hanyalah Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Jadi, kesimpulannya, dalam penentuan awal bulan kamariah, berpegang dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.
Namun khusus untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah yang terkait dengan ibadah haji dan Idul Adha, rukyatul hilal yang menjadi patokan adalah rukyatul hilal penguasa Makkah, bukan rukyatul hilal dari negeri-negeri Islam yang lain. Kecuali jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat hilal, barulah rukyat dari negeri yang lain dapat dijadikan patokan.
Dalilnya adalah hadits dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali, dia berkata :
أنَّ أمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قال: عَهِدَ إلَيْنا رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – أنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فإنْ لم نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwa Amir (penguasa) Makkah berkhutbah kemudian dia berkata,”Rasulullah telah menetapkan kepada kita agar kita menjalankan manasik berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud, hadits no 2339. Imam Daruquthni berkata,”Hadits ini isnadnya muttashil dan shahih.” LihatSunan Ad-Daruquthni, 2/267. Syaikh Nashiruddin Al-Albani berkata,”Hadits ini shahih.” Lihat Al-Albani, Shahih Sunan Abu Dawud, 2/54).
Lafazh hadits “an-nansuka” lebih tepat diartikan “kita menjalankan manasik haji”, bukan diartikan “an-nashuma” (kita berpuasa) sebagaimana pendapat sebagian pensyarah hadits. Memang lafazh “nusuk” berarti ibadah, sehingga mencakup di dalamnya puasa. Ibnul Atsir berkata dalam kitabnya Jami’ Al-Ushul, “Nusuk adalah ibadah, yang dimaksud di sini artinya adalah puasa.” Namun terdapat hadits yang menjelaskan bahwa lafazh “nusuk” yang terkait rukyat, lebih tepat diartikan sebagai “menjalankan manasik”, bukan “berpuasa”. Dalilnya, adalah sabda Nabi SAW:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, dan laksanakan manasik kamu karena melihat hilal. Lalu jika pandanganmu tertutup mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika ada dua saksi yang bersaksi, maka berpuasalah dan berbukalah kamu.” (HR An-Nasa`i, no 2087).
Dalam hadits di atas terdapat lafazh “wa–nsukuu laa” (hendaklah kamu melakukan nusuk). Nusuk di sini, jika diartikan shaum, tentu tidak tepat, karena akan terjadi pengulangan yang tidak bermakna, mengingat di awal hadits sudah ada perintah berpuasa berdasar rukyat. Jadi, lafazh nusuk (an nansuka li ar-ru`yah) dalam hadits Husain bin Al-Harits Al-Jadali di atas maknanya (wallahu a’lam) adalah “menjalankan manasik haji”, bukan “berpuasa.”
Hadits ini menjelaskan siapa yang mempunyai otoritas untuk menetapkan hari-hari pelaksanaan manasik haji, seperti hari Arafah, hari Nahar (Idul Adha), dan hari-hari tasyriq, yaitu Wali/Amir Makkah. Jadi Rasulullah SAW tidak menyerahkan otoritas itu kepada penduduk di luar Makkah, semisal penduduk Madinah, Najed, Bahrain, atau lainnya. Tapi Rasulullah SAW hanya memberikan kewenangan itu kepada penguasa Makkah. Pada saat tiadanya pemerintahan Islam (Khilafah) seperti sekarang, maka kewenangan itu tetap dimiliki oleh penguasa Makkah sekarang (Saudi Arabia), meski kekuasaannya tidak sesuai syariah Islam karena berbentuk kerajaan, bukan Khilafah.
Jelaslah, bahwa khusus untuk penetapan Idul Adha, rukyatul hilal yang dipakai patokan umat Islam seluruh dunia adalah rukyatul hilal penguasa Arab Saudi, bukan yang lain. Kemudian, sesuai hadits, jika penguasa Makkah tidak berhasil merukyat, barulah rukyat dari negeri-negeri yang lain dapat dijadikan patokan, selama terdapat dua saksi yang adil yang mempersaksikan terbitnya hilal bulan Dzulhijjah.
Sikap Terhadap Hisab
Hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Raadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha.
Mengapa hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik.
Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia [hilal] dan berbukalah kamu karena melihat dia [hilal].” (HR Bukhari no 1776; Muslim no 1809; At-Tirmidzi no 624; An-Nasa`i no 2087).
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa:
من هذا يتبين أننا لا نصوم ونفطر لحقيقة الشهر بل لرؤية الهلال فإذا رأيناه صمنا وإن لَم نره: لا نَصُمْ حتى وإن كان الشهر قد بدأ فعلاً بالحساب.
“Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan (syahr) itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan (syahr) benar-benar telah mulai berdasarkan hisab.”
Pendapat bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah.
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama mazhab Syafii), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain.
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithabumum bagi orang awam.
Pendapat tersebut tidaklah tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqduruulah), artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits inimujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqduruulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan kamariah, namun hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.
Perlu ditambahkan pula, bahwa kita tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan).
Pendapat ini tidak bisa diterima, dengan beberapa argumen. 
Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat asy-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab. 
Kedua, syara’ telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (asy-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secarawaqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.
Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: 
Pertama, bahwa hisab falaki(perhitungan astronomi), menurut kami, tidak dinyatakan oleh nas syara’, baik Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan (at-thariqah as-syar’iyyah fi al-’ibadat) telah menyalahi ketentuan syara’. 
Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan (tawallud al-hilal). Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al-mathali’ (kesatuan matlak).
Perlu Institusi Pemersatu
Perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.

Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan dan perpecahan umat dalam menentukan awal bulan kamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fikih menyebutkan :
أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).”




Kesimpulan
Persoalan khilafiyah penentuan awal bulan kamariyah memang cukup kompleks, sebab di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fikih, seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, kalau pakai rukyat apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya, (2) masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal, dan (3) masalah politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut ditaati oleh umat dalam hal penentuan awal bulan kamariah.
Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan kamariah tidak pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslimin. AminWallahu a’lam. 





Daftar pustaka

‘aunul ma’bud kitabush shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ ) aunul ma'bud syarh sunan abi dawud

HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam Misykatul Mashabih 1980 [12],
Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548
[4] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).
 [10] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906
Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 – [1080].
Ibnu hajar Al-Asqolani sarah shohih bukhori , Pusaka imam asy-syafi’i
IMAM Annawawi 
Al-manhaj sarh shohih muslim, Darus sunnah
Imam An-Nawawi

 Syarah Shahih Muslim pengarang, Imam An-Nawawi ; penerjemah, Wawan Djunaedi Jakarta:Pustaka Azzam, 2010.

 716 hlm. ; 23.5 cm



[1] Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada Hadis Nabi Muhammad: صُومُوا ِلرُؤيَتِهِ وَأفْطَرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمَلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ.
[2] Secara harfiyah HISAB bermakna ‘perhitungan’. Di dunia Islam istilah ‘hisab’ sering digunakan sebagai metode perhitungan matematik astronomi untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Kriteria ini berpegangn pada hadis nabi muhammad          

[3] Taudhihul Ahkam III/134-135.
[4] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal 314.
[5] Al-Bukhari (hadits no. 1909
[6] HR. Al-Bukhari no. 1906, Muslim no. 1080.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud Kitabush Shiyaam, bab 6, hadits no. 2322, makna lafadz (يَتَحَفَّظُ )
[8] HR. Abu Dawud. 2325 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud hadits no. 2325, dan dalam
[9] Sunan At-Tirmidzi Abwaabush Shaum bab 4 hadits no. 682 dan Al-Mustadrak hadits no. 1548
[10] Disebut Ummiy karena tidak bisa menulis dan menghitung (hisab). Dan yang dimaksud dengan hisab adalah ilmu perbintangan (lihat Fathul Baari Kitabush Shaum hadits no. 1913).

[11] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1913 , Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 15-[1080].

[12] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no.1909
[13] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1906, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 3 – [1080]
[14] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1907
[15] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909
[16] Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1906
[17] Lihat Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi v Kitabush Shiyam hadits no. 3 – [1080].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar